Rabu, 08 Juni 2011

Paulo Freire dan Pemikirannya

A.  Biografi Paulo Freire
Membaca pemikiran Paulo Freire tidak bisa dipisahkan dari sejarah hidupnya di masa kecil. Maka, dengan mengetahui biografi hidupnya akan semakin memperjelas  pembacaan terhadap alur pemikiran Paulo Freire.
Paulo Freire adalah seorang tokoh pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia. Paulo Freire juga adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Freire dilahirkan di Recife, sebuah kota pelabuhan  bagian selatan Brasil pada 19 September 1921. Recife merupakan sebuah kota yang terbelakang dan miskin.[1]
Ayahnya bernama Joaquim Temistocles Freire, berprofesi sebagai polisi militer di  Pernambuco yang berasal dari Rio Grande de Norte. Ayahnya adalah seorang pengikut aliran kebatinan, tanpa menjadi anggota dari agama resmi. Baik budi, cakap, dan  mampu untuk mencintai.
Ibunya, Edeltrus Neves Freire, berasal dari Pernambuco, beragama Katolik,  lembut, baik budi, dan adil. Merekalah yang dengan contoh dan cinta mengajarkan kepada Paulo Freire untuk menghargai dialog dan menghormati pendapat orang lain.
Pada  tahun 1929 krisis ekonomi melanda Brasil. Orang tuanya, yang termasuk kelas menengah  terkena imbas krisis itu dan mengalami kejatuhan financial yang sangat hebat. Akibat  kondisi seperti itu, Freire terpaksa belajar mengerti apa artinya menjadi lapar bagi seorang anak sekolah. Sehingga pada umur 11 tahun, karena pengalaman yang  mendalam akan kelaparan, bertekad
untuk mengabdikan kehidupannya pada perjuangan melawan kelaparan, agar anak-anak lain jangan sampai mengalami kesengsaraan yang tengah dialaminya.[2]
Pada tahun 1943, Freire mulai belajar di Universitas Recife, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebagai buktinya, ia pernah berkarier dalam waktu pendek sebagai seorang pengacara. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis selama 6 tahun (1941-1947).[3]
Sekitar tahun 1944, ia menikah dengan seorang guru bernama Elza Maia Costa Olievera, seorang rekan gurunya. Pernikahan inilah yang memantapkan pergeseran interesnya dari bidang hukum ke bidang pendidikan, sebagaimana diakuinya sendiri, “. . . precisely after my marriage when I started to have a systematic interest in educational problems.”3 Mereka berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka.
Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife). Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai teologi pembebasan.
Tahun 1959, Freire menyerahkan disertasi doktoral di Universitas Recife dengan judul Educacao e Atualidade Brasileira (Pendidikan dan Keadaan Masa Kini di Brasil). Di kemudian hari, ia bahkan diangkat sebagai guru besar bidang sejarah dan filsafat pendidikan di universitas tersebut.
Pada 1961-1964, ia diangkat sebagai Direktur Pertama dari Departemen Perluasan Kebudaya Universitas Recife. Dan pada 1962, ia mendapatkan kesempatan pertama untuk menerapkan secara luas teori-teorinya. Saat itu, 300 orang buruh kebun tebu diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan terhadap eksperimen ini, pemerintah Brasil menyetujui dibentuknya ribuan lingkaran budaya di seluruh negeri.
Karena keberhasilannya dalam program pemberantasan buta huruf di daerah Angicos, Rio Grande do Norte, ia diangkat sebagai Presiden dari Komisi Nasional untuk Kebudayaan Populer.
Pada tahun 1964, terjadi kudeta militer di Brasil, yang mengakhiri upaya itu.[4] Rezim yang berkuasa saat itu menganggap Freire seorang tokoh yang berbahaya, karena itu mereka menahannya selama 70 hari sebelum akhirnya “mempersilahkan” Freire untuk meninggalkan negeri itu. Ia memulai masa 15 tahun pembuangannya dan tinggal untuk sementara waktu di Bolivia.[5] Dari Bolivia ia pindah ke Chili dan berkerja selama 5 tahun untuk organisasi internasional Christian Democratic Agrarian Reform Movement. Dalam masa 5 tahun ini, ia dianggap sangat berjasa menghantar Chili menjadi 1 dari 5 negara terbaik di dunia yang diakui UNESCO sukses dalam memberantas buta huruf. Pada tahun 1969, ia sempat menjadi visiting professor di Universitas Harvard.
Antara tahun 1969-1979, ia pindah ke Jenewa dan menjadi penasihat khusus bidang pendidikan bagi Dewan Gereja Dunia. Pada masa itu Freire bertindak sebagai penasihat untuk pembaruan pendidikan di bekas koloni-koloni Portugis di Afrika, khususnya Guinea Bissau dan Mozambik. Pada akhir tahun 1960-an inilah ia menulis salah satu bukunya yang paling terkenal, Pedagogy of the Oppressed.
Pada tahun 1979, Freire kembali ke Brasil dan menempati posisi penting di Universitas Sao Paulo. Freire bergabung dengan Partai Buruh Brasil (PT) di kota São Paulo, dan bertindak sebagai penyedia untuk proyek melek huruf dewasa dari tahun 1980-1986. Ketika PT menang dalam pemilu-pemilu munisipal pada 1986, Freire diangkat menjadi Sekretaris Pendidikan untuk São Paulo.
Dan pada tahun 1986 juga, istrinya Elza meninggal dunia. Kemudian Freire menikahi Maria Araújo Freire dan melanjutkan pekerjaan pendidikannya sendiri yang radikal.
Tahun 1988, ia ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paulo, sebuah posisi yang memberinya tanggung jawab untuk mereformasi dua pertiga dari seluruh sekolah negeri yang ada.
Pada 1991, didirikanlah Institut Paulo Freire di São Paulo untuk memperluas dan menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Institut ini menyimpan semua arsip Freire.
Freire meninggal pada 2 Mei 1997, dalam usia 75, akibat penyakit jantung. Selama hidupnya, ia menerima beberapa gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas di seluruh dunia. Ia juga menerima beberapa penghargaan, di antaranya:
1.      UNESCO’s Peace Prize tahun 1987.
2.      Dari The Association of Christian Educators of the United States sebagai The Outstanding Christian Educator pada tahun 1985.
3.      Penghargaan Raja Baudouin (Belgia) untuk Pembangunan Internasional

B.  Karya-karya Paulo Freire
Di Indonesia, penyebaran pemikiran Freire dapat dilihat dari begitu banyaknya karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, terutama setelah tumbangnya Orde Baru.
Beberapa karya Paulo Freire yaitu:
1.    Pedagorgy of the Oppressed
2.    Pedagogy of the City
3.    Pedagogy of Hope
4.    Pedagogy of the Heart
5.    Pedagogy of Freedom
6.    Pedagogy of Indignation
Buku-bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia antara lain: Pendidikan yang Membebaskan, Belajar Bertanya, Politik Pendidikan, Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan, Pendidikan Kaum Tertindas, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Dialog Bareng Paulo Freire, Sekolah Kapitalisme yang Licik, dan Pendidikan Sebagai Proses, Surat Menyurat Pedagogis Dengan Para Pendidik Guinea Bissau.

C.  Konsep Pendidikan Menurut Paulo Freire
Secara filosofis, pemikiran Freire banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran Fenomenologi, Personalisme, Eksistensialisme, dan Marxisme.[6] Sebagai tokoh pendidikan, ia dikenal sebagai salah satu tokoh utama Rekonstruksionisme.[7] Keyakinan utama seorang rekonstruksionis ialah istilah yang sering digunakan oleh Freire adalah tulisan Tom Heaney, ”Issues in Freirean Pedagogy,” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan “. . . hold the goal of building an ideal and just social order. Efforts are directed toward establishment of a practical utopia where persons are liberated to be and become all intended to be.”[8]
George R. Knight mendaftarkan beberapa prinsip utama dari Rekonstruksionisme,[9] yang intinya adalah:
1.      Peradaban dunia sedang berada dalam krisis di mana solusi efektifnya adalah penciptaan suatu tatanan sosial yang menyeluruh.
2.      Pendidikan adalah salah satu agen utama untuk melakukan rekonstruksi terhadap tatanan sosial. Oleh karenanya, seorang pendidik Rekonstruksionis harus secara aktif mendidik demi perubahan sosial.
3.      Metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertujuan untuk mengenali dan menjawab tantangan sosial yang ada.
Dari ketiga prinsip ini dapat diketahui bahwa di dalam Rekonstruksionisme peranan pendidikan sekolah bukanlah sebagai transmitor (penyampai) kebudayaan yang bersifat pasif, sebagaimana diyakini oleh aliran-aliran yang lebih tradisional, tetapi sebagai agen yang menjadi pionir yang aktif dalam melakukan reformasi sosial. Hal ini terlihat secara jelas dalam pemikiran Freire.
Ada beberapa tema sentral dalam konsep pendidikan pembebasan dalam pemikiran Paulo Freire, yaitu Humanisasi, pendidikan hadap masalah (problem-posing education), konsientisasi, dialog. Masalah sentral bagi manusia adalah humanisasi. Humanisasi merupakan sesuatu hal yang wajib diperjuangkan, karena sejarah menunjukkan humanisasi dehumansisi merupakan alternative yang real.
Dehumanisasi tidak hanya mewarnai mereka yang kemanusiaannya dirampas, tetapi juga mereka yang merampasnya. Dalam perjuangan humanisasi itu manusia tertindas tidak boleh berbalik menjadi penindas. Pembebasan sejati terjadi kalau tangan-tangan yang terangkat mengemis itu diubah menjadi tangan-tangan yang mampu mengubah dunia. Kaum tertindas mampu memahami penindasan yang mengerikan, karena merekalah yang menanggung dan mengalami beban penindasan. Merekalah yang lebih memahami keharusan pembebasan.
Paulo Freire menyebutkan bahwa pendidikan lama itu adalah pendidikan dengan sistem bank. Dalam pendidikan itu guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid. Murid adalah wadah atau suatu tempat deposit belaka. Dalam proses belajar itu murid hanya sebagai objek belaka. Sangat jelas dalam pendidikan semacam itu, bagi Freire, tidak terjadi komunikasi yang sebenarnya antara guru dan murid. Praktik pendidikan semacam itu mencerminkan penindasan yang terjadi di masyarakat sekaligus memperkuat struktur-struktur yang menindas.
Untuk mengganti sistem pendidikan seperti itu, Freire mempunyai alternative yaitu sistem baru yang dinamakan "problem-posing education" atau "pendidikan hadap masalah" yang memungkinkan konsientisasi. Dalam konsientisasi, guru dan murid bersama-sama menjadi subyek yang disatukan oleh obyek yang sama. Tidak ada lagi yang berpikir memikirkan dan yang tinggal menelan, tetapi mereka berpikir bersama. Guru dan murid harus secara serempak menjadi murid dan guru. Dialog menjadi unsur sangat penting dalam pendidikan.
Skema sistem pendidikan Paulo Freire
                 

D.  Tujuan Pendidikan

Menurut Freire, tujuan utama dari pendidikan adalah membuka mata peserta didik guna menyadari realitas ketertindasannya untuk kemudian bertindak melakukan transformasi sosial. Kegiatan untuk menyadarkan peserta didik tentang realita ketertindasannya ini ia sebut sebagai konsientasi. Konsientasi adalah pemahaman mengenai keadaan nyata yang sedang dialami peserta didik. Lebih lanjut, Daniel Schipani menjelaskan bahwa konsientasi dalam pemahaman Freire adalah:
“. . . denotes an integrated process of liberative learning and teaching as well as personal and societal transformation. Conscientization thus names the process of emerging critical consciousness whereby people become aware of the historical forces that shape their lives as well as their potential for freedom and creativity; the term also connotes the actual movement toward liberation and human emergence in persons, communities, and societies.”[10]
Konsientasi bertujuan untuk “membongkar” apa yang disebut oleh Freire sebagai “kebudayaan diam.”[11] Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu. Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas.
Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik.
Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul. Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadap-masalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu.
Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari kepenindasannya.[12]

E.  Materi Ajar dan Metode Pengajaran
Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis, yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf.
Pertama-tama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik. Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan dengan memperhatikan berbagai kaitan dan dampaknya.
Dengan proses demikian, nara didik mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire menamai dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak sehingga nara didik dapat merangkai kata-kata dari hasil penamaannya sendiri.
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.[13]
Dalam pendidikan "hadap masalah" itu guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Bagi Freire dialog adalah salah satu unsur penting dalam pendidikan kaum tertindas. Inti dialog adalah kata. Kata mempunyai dua dimensi refleksi dan aksi yang berada dalam interaksi yang radikal. Tanpa refleksi hanya akan terjadi aktivisme, dan tanpa aksi hanya akan terjadi verbalisme. Dengan adanya aksi dan refleksi, kata menjadi benar-benar kata yang sejati. Kata sejati adalah kata yang memungkinkan mengubah dunia. Dialog adalah pertemuan antara kata dengan tujuan "memberi nama kepada dunia". Dialog mengandaikan kerendahan hati, yaitu kemauan untuk belajar dari orang lain meskipun menurut perasaan kebudayaan lebih rendah, memperlakukan orang lain sederajat, keyakinan bahwa orang lain dapat mengajar kita. Artinya bahwa tindakan dialogik selalu bersifat kooperatif. Itu berarti adanya kesatuan antara bawahan dan atasan dalam usaha memacu proses perubahan.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik. Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu:[14]
1.      Kesadaran intransitif.
Dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas.
2.      Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis.
Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.
3.      Kesadaran Naif.
Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.[15]
4.      Kesadaran kritis transitif.
Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.

F.   Hubungan antar Guru dan Murid yang Baik
Nara didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, nara didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.
Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Dengan demikian kedua belah pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada. Pengetahuan adalah keterlibatan.




[1] Denis Colins. Paulo Freire His Life, Works and Thought. (New York: Paulist Press, 1977). p. 5.
[2]Sumaryo. Pendidikan Yang Membebaskan” dalam Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan. (Bandung: Alumni, 1981). p. 29.
[3] Denis Colins. Paulo Freire His Life, Works and Thought.... p. 6.
[4] Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas. (Jakarta: LP3S, 1972). p. xii.
[5] Paulo Freire dan Antonio Faundez. Belajar Bertanya. Pendidikan Yang Membebaskan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995). p. 6.
[6] Robert W. Pazmiño. Foundational Issues in Christian Education: An Introduction in Evangelical Perspective (Grand Rapids: Baker, 1988). P. 68.
[7] Ozmon & Craver. Philosophical Foundations of Educations. (Colombus: Merril, 1986) 135-163.
[8] Robert W. Pazmiño, Foundational Issues... p. 109.
[9] George R. Knight. Philosophy of Education. (Michigan: Andrew University Press, 1989). P. 116-119.
[10] Daniel Schipani. Liberation Theology and Religious Education dalam Theologies of Religious Education (ed. Randolph Crumph Miller; Birmingham: Religious Education, 1996). p 307-308.
[11] Aloys Maryoto. Pendidikan Sebagai Proses Penyadaran Menurut Paulo Freire dalam Fenomena. (Edisi 2/Th.V/1994). p. 18.
[12]Cf. J.B. Banawiratma, Iman. Pendidikan dan Perubahan Sosial. (Yogyakarta: Kanisius, 1991).  p. 73.
[13] Daniel S. Schipani. Religious Education Encounters Liberation Theology (Alabama: Religious Education Press, 1988), p. 13.
[14] L. Subagi. Kritik Atas: Konsientisasi dan Pendidikan. Teropong Paulo Freire dan Ivan Illich; dalam Martin Sardy (ed.), Pendidikan Manusia. (Bandung: Alumni, 1985), p. 104-105.
[15] Paulo Freire. Education For Critical Consciousness. (New York: The Seabury Press, 1973 ), p. 18.

1 komentar:

  1. terima kasih banyak sudah mau berbagi pengetahuan tentang pendidikan yang membebaskan freire...

    BalasHapus