Jumat, 25 Maret 2011

Puisi Selamat Ulang Tahun:

Selamat Ulang Tahun. . .
Selamat Ulang Tahun
Dentang piano kala jemari menari
Menyusun indanya alunan melodi
Ketegaran yang kini teruji
Melahirkan persahabatan yang abadi

                   Kini kita terurai
                   Menjalin kesibukan yang terderai
                   Tak kuasa hati melerai
                   Rindu angan yang tak kunjung usai

Meski kita tersibat
Tapi kita tetap bersahabat
Hari ini kita berjabat
Menbawa kata yang teramanat
“Happy Birthday untukmu sobat!”

Puisi Cinta:

Cekaman Yang Terurai
Terbimbang alunan batin
Teruji kebesaran naluri
Kegoyahan pun menerka luka
Dan kehancuran semakin mencekik

Tertimbang helai keputusan
Berat hati atas pengorbanan
Rasaku yang tertahan baginya
Tak kunjung adanya
Ku jaga rasa ini
Meski kesempatan telah lenyap
Hampanya ku rasa tanpanya
Lemahnya dya tanpa rasa

Tak terpungkiri oleh hati
Video kenangan lekat terekam
Hingga dayaku juga teraniaya
Dan hasratku terus merelunginya                                                       


Makalah Sosialisasi Pendidikan

KATA PENGANTAR

            Assalamualaikum.Wr.Wb.
       Segala puja dan puji syukur, saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan anugrah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tentang “Sosialisasi.” Shalawat serta salam, tidak lupa kami curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman Jahiliyah hingga zaman terang benderang seperti sekarang ini. 
       Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca agar saling mengingatkan bila terjadi kesalahan. Sekian dari penulis, dan apabila terdapat kesalahan, baik dalam cara penulisan ataupun penggunaan bahasa dalam penulisan, kami mohon maaf.
       Akhir kata, penulis berharap makalah ini benar-benar bermanfaat bagi kita semua, Amin.
            Wassalamualaikum.wr,wb
                        
Tanggerang, 21 Maret 2011


                                                      Penulis                   
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………i
Daftar Isi …………………………………………………………ii
BAB I  PENDAHULUAN
Latar Belakang..…………………………………………. 1
BAB II  PEMBAHASAN           
A.     Beberapa Pemikiran Tokoh Sosiologi…………………2
B.     Agen Sosialisasi ……………………………………...3
C.     Kesepadanan Pesan Agen Sosialisasi Berlainan………5
D.     Sosialisasi Primer dan Sosialisasi Pendidikan……….6
E.      Pola Sosialisasi…………………………………….....7
F.      Kasus-Kasus Pendidikan.…………………………… 7
BAB III   PENUTUP
A.     Kesimpulan...………………………………………... 12
B.     Saran………………………………………………….12

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peter Berger (1978) mencatat adanya perbedaan penting antara manusia dengan makhluk lain. Berbeda dengan makhuk lain yang seluruh prilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak awal hidupnya, maka di saat lahir, manusia merupakan makhluk yang tak berdaya karena dilengkapi dengan naluri yang relative tidak lengkap. Oleh sebab itu, manusia kemudian mengembangkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri. Hewan tidak perlu menentukan apa yang harus dimakannya karena hal itu diatur naluri, manusia harus memutuskan sendiri apa yang harus dimakannya dan kebiasaan yang kemudian ditegakkannya menjadi bagian kebudayaannya. Karena keputusan yang diambil suatu kelompok dapat berbeda dengan kelompok lain. Maka kita menjumpai keaneka ragaman kebiasaan dibidang makanan. Ada kelompok yang makan pokoknya nasi, ada yang sagu, ada yang roti. Klo hewan berjenis kelamin berlainan dapat saling berhubungan karena naluri, maka manusia harus mengembangkan kebiasaan mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam tiap kelompok tersebut kemudian menghasilkan bermacam-macam sistem pernikahan yang berbeda satu dengan yang lain. Keseluruhan kebiasaan yang dipunyai manusia tesebut di bidang ekonomi, kekeluargaan pendidikan, agama, politik, dan sebagainya harus dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses yang dinamakan sosialisasi (socialization).
Berger mengdefinisikan sosialisasi sebagai “a process by wich a child learns to be a participant member of society” proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berfatisipasi dalam masyarakat (Berger, 1978: 116). Definisi ini disajikannya dalam suatu pokok bahasan berjudul society in man, dari sini tergambar pandangannya bahwa melalui sosialisasi masyarakat dimasukkan ke dalam manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Beberapa Pemikiran Tokoh Sosiologi
1. Pemikiran Mead
Salah satu teori peran yang dikaitkan dengan sosialisasi ialah teori George Herbert Mead. Dalam teorinya yang diuraikan dalam buku Mind, Self, and Society (1972), Mead mernguraikan tahap pengembangan diri (self) manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead, pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap-tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized other.
Tahap yang pertama, play stage, yaitu tahapan dimana seorang anak kecil mulai belajar mengambil peran orang yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peran yang dijalankan oleh orang tuanya, atau peran orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi.
Tahap yang kedua, game stage, yaitu tahapan dimana seorang anak tidak hanya telah mengetahui perannya yang harus dijalankannya. Tetapi juga telah mengetahui peran yang harus di jalankan oleh orang lain dengan siapa dia berinteraksi.
Tahap yang ketiga, generalized other, yaitu tahapan dimana ia telah mampu beriteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peran orang lain dengan siapa ia berinteraksi.
Dari pandangan-pandangan Mead ini nampak jelas pendiriannya bahwa diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.
 2. Pemikiran Cooley
Pandangan lain yang juga menekankan pada peran interaksi dalam proses sosialisasi tertuang dalam buah pikiran Charles H. Cooley. Menurut Cooley, konsep diri (self-concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini oleh Cooley di beri nama looking-glass self.
B. Agen Sosialisasi
Agen sosialisasi (Agents of socialization), yaitu pihak yang melaksanakan sosialisasi. Fuller dan Jacobs (1973: 168-208) mengidentifikasikan empat agen sosialisasi utama yaitu : keluarga, kelompok bermain, media massa dan sistem pendidikan.
1)      Keluarga
Pada awal kehidupan manusia biasanya agen sosialisasi terdiri atas orang tua dan sodara kandung. Pada masyarakat yang mengenai sistem keluarga luas (extended family) agen sosialisasi bias berjumlah lebih banyak.
Gertrude Jaeger (1977) mengemukakan bahwa peran para agen sosialisasi pada tahap awal ini, terutama orang tua, sangat penting. Sang anak sangat tergantung pada orang tua dan apa yang terjadi antara orang tua dan anak pada tahap ini jarang diketahui oleh orang luar.
Arti penting agen sosialisasi pertama pun terletak pada pentingnya kemampuan yang diajarkan pada tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant others pada tahap ini, seorang bayi belajar berkomunikasi secara verbal dan non verbal.
2)      Teman Bermain
Setelah mulai dapat bepergian, seorang anak memperoleh agen sosialisasi lain: Teman bermain, baik yang terdiri atas kerabat maupun tetangga dan teman sekolah. Disini seorang anak mempelajari berbagai kemampuan baru. Kalau dalam keluarga interaksi yang dipelajarinya dirumah melibatkan hubungan yang tidak sederajat, maka dalam kelompok bermain seorang anak belajar berinteraksi dengan orang yang sederajat karena sebaya.
3)      Sekolah
Agen sosialisasi berikut tentunya dalam masyarakat yang telah mengenalnya adalah system pendidikan formal. Disini seseorang mempelajari hal baru  yang belum dipelajarinya dalam keluarga ataupun dalam kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkannya untuk penguasaan peran-peran baru dikemudian hari, dikala seseorang tidak tergantung lagi pada orang tuanya.
Menurut Robert Dreeben (1968), berpendapat bahwa yang dipelajari anak disekolah selain membaca, menulis dan berhitung adalah aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), spesifisitas (specificity). Pemikiran Dreeben ini dipengaruhi oleh dikotomi yang dikembangkan oleh Talcott Parsons, misalnya antara ascribtion dan achievement, particularism dan universalism, diffuseness dan specificity.
4)      Media massa
Light, Keller dan Calhoun (1989) mengemukakan bahwa media massa yang terdiri dari media cetak dan media elektronik merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sejumlah besar orang. Media massa diidentifikasikan sebagai suatu agen sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap prilaku. Peningkatan teknologi yang memungkitkan peningkatan kualitas pesan serta peningkatan frekuensi penerpaan masyarakat pun memberi peluang bagi media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting.
Pesan-pesan yang ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan khalayak ke arah prilaku prososial maupun antisosial. Penayangan film-film seri dan film kartun yang menonjolkan kekerasan dianggap sebagai satu faktor yang memicu prilaku agresif  pada anak-anak yang melihatnya. Iklan-iklan yang ditayangkan mempunyai potensi untuk memicu perubahan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat. Media massa pun sering digunakan untuk mengukur, membentuk ataupun mempengaruhi pendapat umum.
Kesadaran akan penting media massa bagi sosialisasi pun telah mendorong para pendidik unuk memanfaatkan media massa. Di banyak negara, televisi digunakan untuk menayangkan siaran-siaran pendidikan yang bertujuan mempengaruhi pengetahuan, keterampilan dan sikap khayalnya. Namun, pernyataan ini memberikan kita alasan untuk mengkaji dampak-dampak televisi bagi para penonton kita.
Fuller dan Jacobs (1073) mengemukakan bahwa dampak televisi sebagai agen sosialisasi belum diketahui dengan pasti. Urie Bronfenbrenner (1970), setelah mempelajari beberapa data penelitian terhadap dampak televisi terhadap perilaku anak, merasa yakin bahwa media massa ini memberikan sumbangan berarti bagi tumbuh dan dipertahankannya suatu tingkat kekerasan tinggi dalam masyarakat Amerika. Light, Keller dan Calhoun, di pihak lain mengemukakan bahwa menurut penelitian Robert Hodge dan David Tripp pada tahun 1966, televisi tidak memberika pesan tunggal yang sederhana, melainkan menyajikan berbagai pesan yang rancu dan saling bertentangan, dan bahwa pesan televisi membawa banyak dampak positif seperti merangsang interaksi, eksperimen dan pertumbuhan mental serta sosial anak (lihat Light, Keller dan Calhoun, 1989:127-129).
  1. Kesepadanan Pesan Agen Sosialisasi Berlainan
Sebagaimana yang telah kita lihat dari pemikiran Dreeben mengenai sosialisasi di sekolah, maka pesan-pesan yang disampaikan oleh agen sosialisasi yang berlainan tidak selamanya sepadan satu dengan yang lain.
Jika pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi dalam masyarakat sepadan dan tidak saling bertentangan melainkam mendukukng, maka poses sosilaisasi diharapkan dapat berjalan relatif lancar. Namun, dalam masyarakat yang di dalamnya terdapat agen sosilisasi dengan pesan yang bertentangan dijumpai kecenderungan bahwa warga masyarakat yang menjalani proses sosialisasi sering mengalami konflik pribadi karena diombang-ambingkan oleh agen sosialisasi yang berlainan. Seorang anak sering harus memilih antara menaati orang tua atau mengikuti teman, dan pilihan apa pin yang diambilnya akan mempertentangkannya dengan salah satu agen sosialisasi. Konflik pribadi pun akan terjadi manakala seseorang disosialisasikan karena mempelajari peran baru, dan aturan dalam proses sosialisasi ini bertentangan dengan sosialisasi yang pernah di alaminya dalam masa lampau.
Masalah tersebut dikenal sebagai perbedaan hasil belajar karena danya perbedaan pola sosialisasi masyarakat yang berlainan. Dan hal ini dikaji secara mendalam oleh Urie Bronefrenbenner (1970). Dalam tulisannya mengenai dunia anak-anak di Amerika Serikat dan Uni Soviet Bronefrenbenner, berdalih bahwa pola sosilaisasi anak di Amerika Serikat lebih cenderung menghasilkan anak dengan prilaku antisosial dari pada pola sosialisasi anak di Uni Soviet.
D.   Sosialisasi Primer dan Sosialisasi Pendidikan
            Sosialisasi merupakan proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam kaitan inilah para ahli berbicara mengenai bentuk-bentuk proses sosialisasi seperti sosialisasi setelah masa kanak-kanak (socialization after childhood), pendidikan sepanjang hidup (lifelong education), pendidikan berkesinambungan (continuing education).
            Light et al. (1989:130) mengemukakan, bahwa setelah sosialisasi dini yang disebut sosialisasi primer (primary socialization), kita menjumpai sosialisasi sekunder (secondary socialization).
            Berger dan Luckmann (1967) mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder mereka definisikan sebagai proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru daru dunia objektif masyarakatnya (Berger dan Luckmann, 1967: 130).
            Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang sering sering dijumpai dalam masyarakat ialah apa yang dinamakan proses resoliasisasi (resocialization) yang didahului dengan proses desosialisasi (desocialization). Dalam proses desosialisasi seseorang mengalami “pencabutan” diri yang dimilikinya, sedangkan dalam proses resosialisasi seseorang diberi suatu diri yang baru. Proses desosialisasi dan resosialisasi sering dikaitkan dengan proses yang berlangsung dengan apa yang oleh Goffman dinamakan institusi total (total instituition):
  Suatu tempat tingga dan bekerja yang di dalamnya sejumlah individu dalam situasi sama, terputus dari masyarakat yang lebih luas untuk jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkungkungdan diatur secara formal (Goffman, 1961:xiii).
Sosialisasi antisipatoris (anticipatory socialization) merupakan suatu bentuk sosialisasi sekunder yang mempersiapkan seseorang untuk peran yang baru. Seperti dalam kasus kenaikan pangkat di kalanngan personel militer, mereka mempersiapkan diri untuk peranannya yang baru meskipun kenaikan pangkatnya belum berlangsung. Mereka mulai membatasi hubungan dengan rekannya sesama bintara dan mulai menjalin kontak dengan para perwira.
E.   Pola Sosialisasi
         Menurut Jaeger (1977), dengan mengutip karya Bronfenbenner dan Kohn, ada dua pola sosialisasi, sosialisasi represif (repressive socialization) dan sosialisasi partisipatoris (participatory socialization).
         Sosialisasi represif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan.  Menurut Jaeger, sosialisasi represif pun memiliki ciri lain, seperti penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan; penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua; penekanan tehadap komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah; penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua; dan peran keluarga sebagai significant other.
         Sedangkan sosialisasi partisipatoris merupakan pola yang didalamnya anak diberi imbalan manakala berprilaku baik; hukuman dan imbalan bersifat simbolik; anak diberi kebebasan; penekanan diletakkan pada interaksi; komunikasi bersifat lisan; anak menjadi pusat sosialisasi; keperluan anak dianggap penting; dan keluarga menjadi generalized other.
     F.  Kasus-Kasus Pendidikan

1. Kasus Sosialisai Sekolah

IPDN: KESALAHAN MEMAKNAI HAKIKAT PENDIDIKAN

Kasus perpeloncoan yang berakibat kematian kembali mencoreng dunia pendidikan kita. Kini, Cliff Muntu, mahasiswa (praja) Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), menjadi korban. Mahasiswa asal Manado ini tewas setelah dianiaya para seniornya. Peristiwa tersebut membuat kita terkejut, karena ini bukan untuk pertama kalinya terjadi. Konon, sejak 1993, tidak kurang sepuluh mahasiswa di sana tewas karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh para seniornya. Sebenarnya, masyarakat berharap bahwa peristiwa di STPDN yang menewaskan Wahyu Hidayat tahun 2003 menjadi momentum untuk mengakhiri segala bentuk perpeloncoan yang dilakukan para siswa di lembaga pendidikan di Tanah Air.

Menurut Wapres M Jusuf Kalla mengatakan bahwa kekerasan bukan hanya terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) saja, namun kekerasan juga ada di berbagai kampus di Indonesia.

“Jadi kekerasan bukan hanya ‘milik’ IPDN saja, tapi budaya kekerasan memang ada di situ (IPDN),” kata Wapres M Jusuf Kalla di hadapan para mahasiswa yang ikut Pengkaderan mahasiswa angkatan II Partai Golkar di Cibubur Jakarta, Senin malam, seperti dilansir Republika online edisi 10 April 2007.

Artinya, apa yang terjadi di IPDN bak gunung es di permukaan lautan. Ungkapan Wapres Yusuf Kalla dan peristiwa di IPDN tersebut seakan menyadarkan kita betapa budaya kekerasan masih banyak melanda dunia pendidikan kita. Jika asumsi ini benar, maka tindakan pemecatan para senior yang menganiaya Cliff Muntu, pemberian sanksi pada dosen dan pejabat IPDN, bahkan penutupan lembaga itu hampir tidak bermakna sama sekali. Menurut hemat penulis, diperlukan reorientasi menyeluruh terhadap terhadap paradigma pembelajaran di dunia pendidikan kita.

Jika mau jujur, meski kurikulum pendidikan kita terus di up date, namun pelaksanaan di sekolah-sekolah nyaris tak ada perubahan. Model-model pembelajaran yang merangsang keaktifan peserta didik dalam proses belajar mengajar telah lama dikumandangkan, semisal CBSA, Kurikulum Berbassis Kompetensi hingga KTSP, namun aplikasi di lapangan tak jua beranjak berubah. Ibarat, biarlah anjing menggonggong kafilah terus berlalu. Para pengajar masih berperan sebagai sentral dalam proses pembelajaran di kelas-kelas. Mereka merasa wajib mentransfer segala ilmu sesuai keputusan dari ‘atas’ kepada peserta didik. Jika target ‘transfer ilmu’ tersebut telah tercapai, maka tuntaslah kewajibannya. Tak peduli apakah peserta didik menguasai ilmu tersebut atau tidak.

Struktur dan mekanisme praktik pendidikan yang demikian melahirkan proses pendidikan lebih sebagai “proses pengajaran oleh guru” (teacher teaching) dibandingkan yang seharusnya sebagai “proses pembelajaran oleh murid” (student learning). Guru harus melaksanakan tugas dengan metode yang telah ditentukan sebagaimana “petunjuk dari atas”, terlepas guru suka atau tidak terhadap perilaku tersebut, cocok atau tidaknya metode tersebut dengan materi yang harus disampaikan di depan peserta didik. Guru harus menggunakan metode tersebut karena suatu “perintah” atasan. Oleh karena itu, muncullah robot- robot yang mengajar di kelas (robotic teacher).

Praktek pendidikan demikian akan memunculkan iklim sekolah yang cenderung bersifat otoriter. lklim yang tidak demokratis ini menyebabkan efek destruktif pada “keingintahuan, kepercayaan diri, kreatifitas, kebebasan berfikir, dan self-respect” di kalangan peserta didik. Pendidikan bukan bertujuan untuk mengembangkan segala potensi peserta didik agar berkembang secar optimal, namun mecetak robot-robot seperti dikehendaki ‘penguasa’. Oleh karena itu, restrukturisasi dan deregulasi pendidikan merupakan sebuah keharusan untuk segera dilaksanakan agar pendidikan bisa berperan secara maksimal.

2. Kasus Sosialisai Keluarga

REMAJA: KENAKALAN REMAJA SEBAGAI PERILAKU MENYIMPANG
Masalah sosial yang dikategorikan dalam perilaku menyimpang diantaranya adalah kenakalan remaja. Untuk mengetahui tentang latar belakang kenakalan remaja dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual, individu sebagai  satuan pengamatan sekaligus sumber masalah. Untuk  pendekatan sistem, individu sebagai satuan pengamatan sedangkan sistem sebagai sumber masalah. Berdasarkan  penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa ternyata ada hubungan negative antara kenakalan remaja dengan keberfungsian keluarga. Artinya semakin meningkatnya keberfungsian sosial  sebuah keluarga dalam melaksanakan tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya maka akan semakin rendah tingkat kenakalan anak-anaknya atau kualitas kenakalannya semakin rendah. Di samping itu penggunaan waktu luang yang tidak terarah merupakan sebab yang sangat dominan bagi remaja untuk melakukan perilaku menyimpang.
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang.  Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma social yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui  jalur tersebut berarti telah menyimpang.
Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988,26), mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Masalah sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Kenakalan Remaja” bisa melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual melalui pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi, perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di kalangan anak dan remaja (Kauffman, 1989:6) mengemukakan bahwa perilaku menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya. Ketidak berhasilan belajar sosial atau “kesalahan” dalam berinteraksi dari transaksi sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam beberapa hal.
Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang diserap. Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota mempunyai sifat yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut mempunyai karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen, 1986 : 400), mengatakan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar, overcrowding, derajat kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil. Penelitian inipun dilakukan di daerah pinggiran kota yaitu di Pondok Pinang Jakarta Selatan tampak ciri-ciri seperti disebutkan Eitzen diatas. Sutherland dalam (Eitzen,1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk menjadi kriminal melalui interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung devian, maka seseorang akan mempunyai kemungkinan besar untuk belajar tentang teknik dan nilai-nilai devian yang pada gilirannya akan memungkinkan untuk menumbuhkan  tindakan kriminal.
Pada tingkat kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan, mencuri,minum-minuman keras, juga cukup banyak dilakukan oleh responden. Bahkan pada kenakalan khususpun banyak dilakukan oleh responden seperti hubungan seks di luar nikah, menyalahgunakan narkotika, kasus pembunuhan, pemerkosaan, serta menggugurkan kandungan walaupun kecil persentasenya. Terdapat cukup banyak dari mereka yangkumpul kebo. Keadaan yang demikian cukup memprihatinkan. Kalau hal ini tidak segera ditanggulangi akan membahayakan baik bagi pelaku, keluarga, maupun masyarakat. Karena dapat menimbulkan masalah sosial di kemudian hari yang semakin kompleks.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Setelah membaca dan menganalisis makalah yang penulis buat, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1. Sosialisasi adalah proses individu dalam mempelajari keperluan-keperluan sosial dan kultural di sekitarnya yang mengarah ke dunia sosial.
2. Proses social adalah proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif.
3. Media yang dapat menjadi ajang sosialisasi adalah keluarga, sekolah, teman bermain media massa dan lingkungan kerja.
            Dalam teori Mead manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized other.
Menurut Cooley, konsep diri seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini lah oleh Cooley diberi nama looking glass self, yang menurutnya terbentuk melalui tiga tahap.
Jaeger membedakan dua pola sosialisasi. Menurutnya sosialisasi reprensif menekakan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Sosialisasi partisipatoris, di pihak lain merupakan pola yang di dalamnya anak diberi imbalan manakala ia berprilaku baik.
B. Saran
Sedangkan saran yang penulis berikan adalah sebagai berikut :
1.      Perlu dan pentingnya pembinaan dan bimbingan keluarga terhadap anaknya dalam menghadapi interaksi social dengan dunia luar.
2.      Perlunya filterisasi social dalam hal proses sosialisasi, agar menjadi manusia yang bertanggung jawab dan efektif.








Inovasi Pendidikan Islam Masa Kini

KATA PENGANTAR
            Assalamualaikum.Wr.Wb.
       Segala puja dan puji syukur, saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan anugrah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tentang “Inovasi Pendidikan Islam Masa Kini.” Shalawat serta salam, tidak lupa saya curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman Jahiliyah hingga zaman terang benderang seperti sekarang ini.
       Tujuan utama dari pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat penilaian tugas individu menjelang UAS dalam mata kuliah “Ilmu Pendidikan Islam.
       Pada kesempatan ini, tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Ibu Yefnelty Z.,M.Pd, selaku dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam”. Dan tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah turut serta memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun dalam pembuatan makalah ini.
       Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik serta saran dari pembaca agar saling mengingatkan bila terjadi kesalahan. Sekian dari penulis, dan apabila terdapat kesalahan, baik dalam cara penulisan ataupun penggunaan bahasa dalam penulisan, saya mohon maaf.
       Akhir kata, penulis berharap makalah ini benar-benar bermanfaat bagi kita semua, Amin.
            Wassalamualaikum.wr,wb
                        
Tanggerang, 27 Desember 2010

                                                   Penulis                      
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………......…..................i
Daftar Isi ……………………………………………………........................ii
BAB I  PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang..…………………………………........................1
B.     Rumusan Masalah……………………..…………........................1
C.     Metode Penulisan……………….…………….….........................2
D.     Tujuan Penulisan……………………............................................2
BAB II  PEMBAHASAN           
A.     Pengertian dan Tujuan Inovasi…………...…………....................3
B.     Penyebab Lahirnya Inovasi………...……………….....................4
C.     Pengintegrasian Pelajaran Agama dan Pelajaran Umum...…...........5
D.     Pembaharuan dari Berbagai Aspek……………………................5
E.      Pendidikan Islam di Masa Pembangunan Dewasa Ini…...…...........8
F.      Proses Inovasi Pendidikan Islam di Indonesia..……………...........9
G.     Pendidikan Islam di Indonesia dan Prospeknya di Masa Depan….12
H.     Faktor Penunjang dan Penghambat……………………………...13
I.        Sikap dalam Menghadapi Tantangan…………………………….14
BAB III   PENUTUP
A.     Kesimpulan……………………………………..….....................15
B.     Saran.…………………..…………………………………….....15
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kira-kira pada pergantian abad ini, banyak orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak mungkin berkompetisi dengan kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia, apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan, apakah ini dengan menggali mutiara-mutiara Islam dari masa lalu yang telah memberi kesanggupan kepada kawan-kawan mereka seagama pada abad tengah untuk mengatasi Barat dalam ilmu pengetahuan serta memperluas daerah pengaruh, atau dengan menggunakan metode-metode baru yang telah dibawa ke Indonesia oleh kekuasaan kolonial serta pihak misi Kristen.
Di Indonesia, inovasi pendidikan merupakan suatu hal yang sangat mendasar dan perlu dilaksanakan, agar dunia pendidikan kita dapat memenuhi tuntutan masyarakat dan pembangunan bangsa di segala bidang. Dalam makalah ini akan diuraikan pengertian dan tujuan inovasi pendidikan, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta bagaimana pelaksanaanya di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan makalah ini, yaitu tentang “Inovasi Pendidikan Islam Masa Kini” tidak meluas atau bahkan menyimpang dari pembahasan pokok, saya membatasi pembahasan ini dengan beberapa pokok masalah, diantaranya:
  1. Apakah definisi dan tujuan inovasi?
  2. Apa penyebab lahirnya inovasi pendidikan Islam?
  3. Apa saja faktor penunjang dan penghambat dalam proses inovasi pendidikan Islam?
  4. Bagaimana proses modernisasi pendidikan sebagai inovasi?
C. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan cara menggabungkan antara materi satu dengan materi lainnya, yang saya dapat dari berbagai buku sumber. Dan kemudian saya susun dengan sedemikian rupa agar makalah ini dapat tersusun dengan baik.
D. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, ada beberapa tujuan yang mendorong saya untuk menyusun makalah ini dengan tema “Inovasi Pendidikan Islam Masa Kini.” Adapun tujuan disusunnya makalah ini, yaitu:
1.      Untuk mengetahui definisi dan tujuan adanya inovasi.
2.      Untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya inovasi pendidikan Islam.
3.      Untuk menganalisa faktor penunjang dan penghambat dalam proses inovasi pendidikan Islam.
4.      Untuk memahami bagaimana proses modernisasi pendidikan sebagai inovasi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Tujuan Inovasi
Inovasi berasal dari bahasa Inggris, “inovation”, yang asal katanya “inovate”, yang diartikan: “make changes (in); introduce new things”. Secara istilah, inovasi adalah megadakan perubahan-perubahan serta mengenalkan hal-hal yang baru.
Inovasi juga sering diartikan dengan perubahan dan pembaharuan pendidikan. Ini mengandung pengertian, bahwa dengan inovasi itu dunia pendidikan kita dapat mengalami perubahan-perubahan serta penggantian-penggantian dengan hal yang baru sesuai dengan kebutuhan pembangunan di bidang penidikan.
Oleh karena itu, tujuan inovasi pendidikan di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang belum dapat diatasi dengan cara-cara yang konvensional secara tuntas.
2.      Untuk mengatasi masalah pendidikan yang menyongsong arah perkembangan dunia kependidikan yang lebih memberikan harapan kemajuan yang pesat.
Adapun masalah-masalah pendidikan di Indonesia yang dimaksudkan adalah:
1.      Masalah pemerataan pendidikan.
2.      Masalah mutu pendidikan.
3.      Masalah efektifitas dan relevansi pendidikan.
4.      Masalah evisiensi pendidikan.[1]
B. Penyebab Lahirnya Inovasi
Kejayaan Islam dalam ilmu pengetahuan berjalan perlahan setelah Baghdad dihancurkan oleh tentara Mongol pada tahun 1258. Meskipun kejayaan Islam masih berlanjut hingga berakhirnya Turki Ustmani, namun dalam bidang ilmu pengetahuan umat Islam mengalami kemunduran, karena umat Islam ketika itu kurang tertarik kepada sains, sebagaimana umat Islam pada masa sebelumnya.
Umat Islam mulai sadar akan ketertinggalannya dari dunia Barat pada sekitar abad ke-19. Negara Islam di bagian Barat dan Timur membuka mata umat Islam untuk menyaingi Barat.
Dengan demikian, jelaslah bahwa penyebab lahirnya inovasi dalam pendidikan Islam bukan akibat adanya pertentangan antara kaum agama dan ilmuwan sebagaimana dalam agama Kristen, melainkan karena adanya perasaan tertinggal dari kemajuan dunia Barat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai Barat telah menggeser pandangan hidup manusia serta melahirkan terma-terma baru, seperti nasionalisme dan pendidikan. Pendidikan merupakan sarana paling penting bukan hanya sebagai wahana konservasi dalam arti tempat pemeliharaan, pelestarian, penanam, dan pewarisan nilai-nilai dari tradisi suatu masyarakat, tetapi juga sebagai sarana kreasi yang dapat menciptakan, mengembangkan dan mentransfornasikan umat ke arah pembentukan budaya baru. Oleh karena itu, tokoh-tokoh pembaharuan Islam banyak menggunakan pendidikan Islam, baik yang bersifat formal, non-formal, untuk menyadarkan umat kembali kepada kejayaan Islan seperti masa lampau.
Adapun faktor yang melatar belakangi adanya pembaharuan pendidikan Islam pada abad modern dapat dilihat dari dua faktor:
1.      Kondisi internal dalam dunia pendidikan dan intelektual Islam.
2.      Faktor eksternal, yaitu terjadi kontak hubungan antara Islam dan dunia Barat menyadarkan umat Islam untuk mengimbanginya.[2]
C. Pengintegrasian Pelajaran Agama dan Pelajaran Umum
Integrasi merupakan pembauran sesuatu hingga menjadi kesatuan yang utuh. Integasi pendidikan adalah proses penyesuaian antara unsur-unsur yang saling berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam pendidikan. Integrasi pendidikan memerlukan integrasi kurikulum, dan secara lebih khusus memerlukan integrasi pelajaran. Inilah yang terjadi pada pelajaran agama dan pelajaran umum.
Ada dua cara yang memungkinkan untuk menghubungkan mata pelajaran agama dengan mata pelajaran lain, yakni cara okasional dan cara sistematis:
    1. Cara Okasional
Yaitu dengan cara menghubungkan bagian dari satu pelajaran dengan bagian dari pelajaran lain bila ada kesempatan yang baik. Hubungan secara okasional biasanya disebut juga korelasi. Hal ini sejalan dengan prinsip kurikulum korelasi; misalnya pada waktu guru membbicarakan pelajaran Fiqih tentang hukum makanan dan minuman dapat menghubungkannya dengan pendidika kesehatan.
    1. Cara Sistematis
Yaitu dengan cara menghubungkan bahan-bahan pelajaran lebih dahulu menurut rencana tertentu sehingga bahan-bahan itu seakan-akan merupakan satu kesatuan yang terpadu. Hal ini disebut kosentrasi sistematis, meliputi konsentrasi sistematis sebagian dan konsentrasi sistematis total.[3]
D. Pembaharuan dari Berbagai Aspek
Berkaitan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) sebagai pembaharu pendidikan di Sumatera Barat, pada sub-sub ini aspek pembaharuan dalam bidang pendidikan akan ditelaah lebih jauh. Secara umum, ide-ide pembaharuan yang dilakukan oleh PGAI dapat dikategorikan pada beberapa aspek: kelembagaan, metode dan sistem pengajaran, serta tujuan dan kurikulum.
1.   Aspek Kelembagaan
Lembaga bermakna wadah atau tempat berlangsungnya suatu kegiatan. Dengan demikian, berbicara tenang aspek kelembagaan adalah pembahasan menganai lembaga pendidikan yang dikelola oleh PGAI.
Kemodernan lembaga pendidikan yang dikelola oleh PGAI, ditandai dengan adanya sikap keterbukaan dalam hal membolehkan para siswa untuk belajar dari mana saja asalkan beragama Islam. Organisasi PGAI juga berusaha memberantas kebodohan yang melanda genersi muda melalui lembaga pendidikan keluarga dan masyarakat.[4]
2.   Metode dan Sistem Pengajaran
Metode bermakna cara atau jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan. Metode juga, sering diartikan sebagai alat pendidikan, yaitu suatu perbuatan atau situasi yang sengan sengaja diadakan untuk mencapai satu tujuan. Dengan demikian, metode pendidikan adalah pembahasan mengenai cara yang digunakan dalam proses belajar-mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sedangkan metode pendidikan Islam adalah jalan unutk menana,kan pengetahuan agama pada diri seseorang agar terlihat dalam pribadi onjek sasaran, yaitu pribadi Islam. Metode pendidikan Islam diantaranya, yaitu: metode keteladanan, metode nasihat, memberikan pujian, peringatan dan hukuman, bercerita, latihan kebiasaan, menyalurkan bakat, dan dengan penggunaan waktu senggang.
Pada proses pembelajaran, pelajaran umum dimasukka seimbang dengan pelajaran agama. Murid-murid diharuskan berbicara dengan bahasa Arab. Kemudian, untuk menunjang terwujudnya hasil yang maksimal, para siswa diharuskan tinggal di asrama yang telah disiapkan.[5]
            3.   Tujuan dan Kurikulum
Tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk dan membina manusia sejati, yang berhasil menjadi hamba Allah yang baik di sisi-Nya. Hasan Langgulung membagi tujuan pendidikan Islam menjadi 3, diantaranya yaitu:
a.     Tujuan yang dekat
Tujuan yang lebih jauh adalah ilmu yang diajarkan kepada peserta didik, dapat dipergunakan dalam waktu dekat, sekarang, dan hari ini, setelah peserta didik keluar dari pendidikan.
b.     Tujuan yang jauh
Tujuan yang jauh adalah ilmu yang diajarkan kepada peserta didik, dapat berguna baginya untuk masa yang lebih jauh itum untuk masa depannya yang lebih panjang.
c.      Tujuan yang lebih jauh
Tujuan yang lebih jauh adalah ilmu yang diajarkan kepada anak didik, yang berguna dan sangat dibutuhkan untuk masa yang lebih jauh lagi, yaitu sebagai bekal di akhirat.[6]
Antara tujuan dan program harus ada kesesuaian dan keseimbangan tujuan yang hendak dicapai harus tergambar di dalam program yang tertuang di dalam kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu Lembaga Kependidikan Islam.
Dalam kurikulum, tidak hanya dijabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus diajarkan oleh pendidik dan harus diterima oleh anak didik, tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan yang dipandang perlu, karena mempunyai pengaruh terhadap akam didik, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam.[7]
E. Pendidkan Islam di Masa Pembangunan Dewasa Ini
Keuntungan yang diperoleh pendidikan Islam di Indonesia sangat besar dengan lahirnya Orde Baru, yang telah merencanakan tekad untuk kembali kepada UUd 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konsekuen, lebih dari itu pemerintah Orde Baru juga bertekad mengadakan pembangunan masyarakat Indonesia secara lahir dan batin. Adapun makna pembangunan batin yang bisa diambil adalah membangun bidang rohani untuk kehidupan yang baik, di dunia dan di akhirat, yang dalam hal ini, membutuhkan pendidikan agama.
Sasaran pendidikan jangka panjang di bidang agama ialah terbinanya iman bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan yang selaras, seimbang dan serasi antara lahiriah dan rohaniah, mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong royong sehingga bangsa Indonesia sanggup meneruskan perjuangan untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional.
Pada era pembangunan sekarang ini, pendidikan agama di masyarakat tetap dibina dan digalakkan untuk mengembangkan kehidupan beragama. Pendidikan agama dalam arti sebagai salah satu bidang studi telah diintegrasikan dalam Tap MPR 1983 tentang GBHN bidang agama, sebagai berikut:
  1. Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pebangunan, maka kehidupan keagamaan dan kepercyaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun hidup sosial kemasyarakatan.
  2. Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk pendidikan agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai Universitas-Universitas Negeri.
Pengembangan dan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan agama, seperti madrasah dan pondok pesantren juga mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Khusus untuk madrasah telah dikeluarkan surat keputusan bersama tiga menteri, antar Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1976. Adapun yang menjadi titik perhatian pembahasan adalah mengenai peningkatan mutu madrasah.dalam SKB tiga menteri tersebut dinyatakan bahwa ijazah madrasah disamakan dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
Adapun prinsip-prinsip pendidikan Islam di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai masa pembangunan dewasa ini adalah Theo centrik.
Prinsip-prinsip Theo centrik meliputi:
  1. Wisdom (kebijakan)
  2. Bebas Terpimpin
  3. Self Government (membangun diri)
  4. Kolektivisme (kebersamaan)
  5. Adanya hubungan guru, murid, orang tua, dan masyarakat
  6. Sikap positif dan negatif terhadap ilmu
  7. Mandiri
  8. Sederhana
  9. Ibadah[8]
F. Proses Inovasi Pendidikan Islam di Indonesia
Inovasi pendidikan Islam yang terlihat pada dewasa ini yaitu melalui beberapa usaha-usaha yang dikhususkan untuk meningkatkan kesadaran anak didik atas pentingnya pendidikan Islam. Beberapa proses inovasi itu diantaranya:
1.      Pendidikan Agama di Sekolah
Kelahiran pendidikan agama yang sekarang ini kita kenal menjadi bidang studi tersendiri pada persoalan pendidikan sekuler minus agama yang dikembangkan pemerintah penjajah. Untuk menghidupkan kembali eksisitensi pembelajaran agama ini, menemukan momentunya setelah terbit UU Nomor 4 Tahun 1950 dan peraturan bersama Menteri Agama tanggal 16 Juli 1951, yang menjamin adanya pendidikan agama di Sekoah negeri.
Pada tahun 1960, pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia mulai mendapatkan status yang agak kuat, dalam ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960 pasal 2 ayat 3, yang berbunyi: “Menetapkan Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Rakyat sampai dengan Universitas-Universitas Negeri, dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid/murid dewasa menyatakan keberatan.”
Setelah meletusnya G.30.S.P.K.I. pada tahun 1965, kemudian diadakan sidang umum M.P.R.S. pada tahun 1966, maka mulai saat itu status pendidikan Agama di sekolah-sekolah berubah dan bertambah kuat. Dengan adanya M.P.R.S. nomor XXII/MPRS/1966 Bab I pasal 1 yang berbunyi: “Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Rakyat sampai Universitas-Universitas Negeri.”
Menurut Tap MPR No.IV/MPR/1973 jo. Tap. MPR No. IV/MPR/ No. II/MPR/1983 tentang GBHN, pendidikan agama semakin dikokohka kedudukannya dengan dimasukkannya dalam GBHN sebagai berikut: “Diusahakan supaya terus bertambah sarana-saran yang diperlukan bagi pengembangan pendidikan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk pandidikan agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar samppai dengan Universtas-Universitas Negeri.”
2.      Madrasah dan Sekolah Islam
Lembaga keagamaan Islam melakukan upaya-upaya untuk memperbaharui pendidikan Islam. Dan upaya-upaya tersebut yang oleh banyak kalangan disebut sebagai upaya modernisasi pendidikan Islam. Gagasan awalnya, menurut Husni Rahim (2005), setidaknya ditandai dengan dua kecenderungan organisasi-organisasi Islam dalam mewujudkannya, yaitu:
    1. Mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara hampir menyeluruh.
    2. Munculnya madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Beland, namun tetap mrnggunakan madrasah dan lembaga tradisional pendidikan Islam sebagai basis utamanya.
Beberapa strategi yang perlu dicanangkan untuk memprediksi pendidikan Islam masa depan adalah sebagai berikut:
1.       Strategi Sosio-Politik
Menekankan butir-butir pokok formalisasi ajaran Islam di lembaga-lembaga negara melalui upaya legal yang terus menerus oleh gerakan Islam, terutama melalui sebuah partai yang secara ekslusif khusus bagi umat Islam.
2.       Strategi Kultural
Dirancang untuk kematang kepribadian kaum muslimin dengan memperluas cakrawala pemikiran, cakupan komitmen, dan kesadaran mereka tentang kompleksnya lingkungan manusia.
3.      Strategi Sosio-Kultural
Dirancang untuk upaya dalam mengembangkan kerangka kemasyarakatan yang mempergunakan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Akan tetapi, kelembagaan yang lahir dari proses ini bukanlah institute-institut Islam yang ekslusif, melainkan institusi biasa yang dapat diterima oleh semua pihak.[9]
                3.  Pesantren dalam Pendidikan Nasional
         Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non-klasikal, dimana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam Bahasa Arab oleh para ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di asrama dalam pesantren tersebut. Lembaga pesantren memiliki unsus-unsur, yaitu: kiai, santri, mesjid, asrama, dan kitab-kitab.
         Adapun ciri-ciri yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren diantaranya, yaitu:
1.       Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya
2.       Adanya kepatuhan santri kepada kiai
3.       Hidup hemat dan penuh kesederhanaan
4.       Kemandirian
5.       Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan
6.       Kedisiplinan
7.       Berani berusaha untuk mencapai suatu tujuan
8.       Pemberian ijazah
         Regulasi pendidikan keagamaan dalam UU No. 20/2003 dapat diduga bertujuan untuk mengakomodir tuntutan pangkuan terhadap model-model pendidikan yang selama ini sudah berjalan di masyarakat secara formal, namun tidak diakreditasi oleh negara karena kurikulumnya mandiri , tidak mengikuti madrasah pada uumnya. Pada pasal 30 ayat 4 dikatakan: “Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja, samanera, dan bentuk lain yang sejenis.”
G. Pendidikan Islam di Indonesia dan Prospeknya di Masa Depan
Melihat sesuatu yang berada jauh didepan dengan titik kulminasi yang sulit ditebak merupakan pekerjaan yang terkadang sulit dipastikan nilai kebenarannya. Meskipun demikian prospek pendidikan silam di Indonesia pada masa mendatang, harus pula dikaji dan diteropong melalui lensa realitas pendidikan Islam di Indonesia yang ada pada hari ini. Oleh karena itu, meskipun masih alternatif pendidikan Islam mempunyai batasan kebijakan pendidikan. Maksudnya, pendidikan Islam mencakup:
  1. Segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri siswa atau peserta didik.
  2. Semua lembaga pendidikan yang mendasarkan program dan kegiatan pendidikannya atas pandangan serta nilai-nilai Islam.
  3. Melihat pendidikan Islam yang masih inferior sehingga perlu mndapat perlakuan istimewa dari induknya, yaitu pendidikan Nasional, maka wajarlah jika predikat pendidikan Islam di Indonesia pada masa yang akan datang banyak mengundang perdebatan antara kalangan ahli pendidikan, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Adapun lembaga pendidikan Islam secara struktur interal yang sesuai dengan UU Sisdiknas NOMOR 20/2003, yaitu:
  1. Pendidikan agama di sekolah umum
  2. Pendidikan umum yang bernafaskan Islam (madrasah dan sekolah Islam).
  3. Pendidikan keagamaan (diniyah dan pesantren).[10]
H. Faktor Penunjang dan Penghambat
Salah satu faktor penunjang terhadap inovasi pendidikan Islam yaitu adanya kerjasama antara PGAI dengan pemerintah kolinial dan masyarakat Islam sekitarnya. Selain itu, pokok-pokok pikiran tentang inovasi pendidikan Islam yang datang dari luar negri, juga tidak kalah pentingnya dengan faktor-faktor yang lain. Karena, dengan pemikiran-pemikiran itulah, PGAI melakukan perubahan-perubahan materi pelajaran pendidikan Islam.
Disamping adanya faktor penunjang dalam usaha mengadakan pembaharuan, tidak sedikit juga kita akan menghadapi faktor-faktor penghambat jalannya pembaharuan pendidikan Islam ini. Faktor penghambat yang ditemui diantaranya, yaitu: adanya pertentangan antara Ulama Muda dan Ulama Tua yang pada akhirnya melahirkan istilah Kaum Muda dan Kaum Tua dan hambatan yang lain, yaitu dikenalkannya paham komunisme kepada kalangan PGAI oleh Datuk Batuah, murid syeikh Abdul Karim Amrullah, yang baru pulang dari Jawa.[11]
I. Sikap dalam Menghadapi Hambatan
Dalam memberikan memberikan jawaban terhadap tantangan tersebut, maka alternatif-alternatif berikut ini perlu dipertimbangkan untung ruginya bagi lembaga pendidikan, diantaranya yaitu:
1.      Sikap tah acuh terhadap perubahan sosial
2.      Sikap mengakui adanya perubahan sosial, tetapi menyerahkan pemecahannya kepada orang lain.
3.      Sikap yang mengidentifikasi perubahan dan berpartisipasi dalam perubahan itu
4.      Sikap yang lebih aktif yeitu melibatkan diri dalam perubahan sosial dan menjadikan dirinya sebagai pusat perubahan sosial.[12]




         [1]Alisuf  Sabri, 1999, Ilmu Pendidikan, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, cet. ke-1. h. 81.
[2] Armai Arief, 2009, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara Adi, cet. ke-1. h. 21.
[3] A. Mustafa & Abdullah Aly, 1998, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII), untuk Fakultas Tarbiyah, Komponen MKK, Bandung: CV Pustaka Setia. h. 143.
     [4]Armai Arief, 2009, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara Adi, cet. ke-1. h. 141.
    [5]Armai Arief , 2009, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara Adi, cet. ke-1. h. 146.
    [6]Mahmud Yunus, 1996, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara, cet. ke-8. h. 50.
     [7]Arifin, Muzayyin, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, cet. ke-4. h. 77.
[8]A. Mustafa & Abdullah Aly, 1998, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII), untuk Fakultas Tarbiyah, Komponen MKK, Bandung: CV Pustaka Setia. h. 145.
[9]A. Mustafa & Abdullah Aly, 1998, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII), untuk Fakultas Tarbiyah, Komponen MKK, Bandung: CV Pustaka Setia. h. 159.
[10]Fathoni, M. Kholid, 2005. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Paradigma Baru). Jakarta: Departemen Agama. h. 8.
[11]Armai Arief , 2009, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara Adi, cet. ke-1. h. 179.
[12] Muzayyin Ariffin, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, cet. ke-4. h. 46.