Kamis, 24 Maret 2011

Pendidikan Gaya Bank vs pendidikan hadap masalah

Pendidikan Gaya Bank (Banking Concept of Education)

Pada dasarnya dunia pendidikan sangat sentral bagi peradaban dunia, problematika pendidikan tidak henti-hentiinya mulai dari kurikulum yang tidak konsisten terhadap dunia pendidikan itulah hal yang nyata sedang dihadapi oleh pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun daerah yang sedang gencar melakukan transformasi pendidikan. fakta yang terjadi banyak tenaga pengajar yang masiih memakai konsep pendidikan gaya bank (Banking Concept of Education). Dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau bisa dikatakan memasukan uang kedalam celengan, adalah gaya pendidikan yann telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid.
Konsep tersebut juga mengakibtakan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid. Murid cuma hanya mendengar, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang telah disampaikan oleh guru. tanpa harus menyadari dan memahami arti dari makna sesungguhnya. inilah yang disebut sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence). Tidak mengherankan bagi realitas pendidikan yang ada di Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu, Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menyadari kebisuan itu, maka harus menguasai bahasa agar mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik


PAULO FREIRE DAN KEMERDEKAAN PENDIDIKAN 
Kamis, 24 Maret 2011 22:52.
Freire menolak pendidikan gaya bank dan menawarkan konsep pendidikan hadap-maslah. Dalam sistem pendidikan gaya bank yang diterapkan di Brasilia pada masa Freire, Pada prosesnya, guru tidak memberikan pengertian kepada peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya peserta didik yang disimpan dalam kebisuan sebab miskinnya daya cipta. Karena itulah pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap kaum bisu.
Alternative yang ditawarkan Freire adalah pendidikan hadap-masalah. konsepsi ini bertolak dari pemahamannya tentang manusia. Ia mengaggap bahwa manusia merupakan bagian dari realitas yang harus dihadapkan pada peserta didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. hal itu juga dilandaskan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.
Pendidikan hadap-masalah adalah sebuah ide atau konsep di mana perkembangan kesadaran siswa terhadap diri-realitas dan lingkungan mereka memungkinkan mereka untuk mengadopsi sikap kritis dan kreatif. Konsep ini menunjukkan bahwa proses belajar-mengajar harus menekankan metode dialektika-emansipatoris dan kurikulum yang melibatkan kehidupan sehari-hari siswa realitas. Sementara itu beruang dimensi positif mengembangkan pemikiran siswa kritis dan kreatif, konsep ini juga memiliki dimensi negatif karena dapat utopia. Namun demikian, masalah-berpose pendidikan relevan dengan pendidikan di Indonesia karena memberikan solusi yang mungkin untuk masalah struktural yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
Pendidikan ini ditujukan pada kaum tertindas dengan tidak berupaya menempatkan kaum tertindas dan penindas pada dua kutub berseberangan. Pendidikan bukan dilaksanakan atas kemurah-hatian palsu kaum penindas untuk mempertahankan status quo melalui penciptaan dan legitimasi kesenjangan. Pendidikan kaum tertindas lebih diarahkan pada pembebasan perasaan/idealisme melalui persinggungannya dengan keadaan nyata dan praksis. Penyadaran atas kemanusiaan secara utuh bukan diperoleh dari kaum penindas, melainkan dari diri sendiri. Dari sini sang subyek didik membebaskan dirinya, bukan untuk kemudian menjelma sebagai kaum penindas baru, melainkan ikut membebaskan kaum penindas itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar