Jumat, 25 Maret 2011

Makalah Sosialisasi Pendidikan

KATA PENGANTAR

            Assalamualaikum.Wr.Wb.
       Segala puja dan puji syukur, saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan anugrah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tentang “Sosialisasi.” Shalawat serta salam, tidak lupa kami curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman Jahiliyah hingga zaman terang benderang seperti sekarang ini. 
       Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca agar saling mengingatkan bila terjadi kesalahan. Sekian dari penulis, dan apabila terdapat kesalahan, baik dalam cara penulisan ataupun penggunaan bahasa dalam penulisan, kami mohon maaf.
       Akhir kata, penulis berharap makalah ini benar-benar bermanfaat bagi kita semua, Amin.
            Wassalamualaikum.wr,wb
                        
Tanggerang, 21 Maret 2011


                                                      Penulis                   
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………i
Daftar Isi …………………………………………………………ii
BAB I  PENDAHULUAN
Latar Belakang..…………………………………………. 1
BAB II  PEMBAHASAN           
A.     Beberapa Pemikiran Tokoh Sosiologi…………………2
B.     Agen Sosialisasi ……………………………………...3
C.     Kesepadanan Pesan Agen Sosialisasi Berlainan………5
D.     Sosialisasi Primer dan Sosialisasi Pendidikan……….6
E.      Pola Sosialisasi…………………………………….....7
F.      Kasus-Kasus Pendidikan.…………………………… 7
BAB III   PENUTUP
A.     Kesimpulan...………………………………………... 12
B.     Saran………………………………………………….12

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peter Berger (1978) mencatat adanya perbedaan penting antara manusia dengan makhluk lain. Berbeda dengan makhuk lain yang seluruh prilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak awal hidupnya, maka di saat lahir, manusia merupakan makhluk yang tak berdaya karena dilengkapi dengan naluri yang relative tidak lengkap. Oleh sebab itu, manusia kemudian mengembangkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri. Hewan tidak perlu menentukan apa yang harus dimakannya karena hal itu diatur naluri, manusia harus memutuskan sendiri apa yang harus dimakannya dan kebiasaan yang kemudian ditegakkannya menjadi bagian kebudayaannya. Karena keputusan yang diambil suatu kelompok dapat berbeda dengan kelompok lain. Maka kita menjumpai keaneka ragaman kebiasaan dibidang makanan. Ada kelompok yang makan pokoknya nasi, ada yang sagu, ada yang roti. Klo hewan berjenis kelamin berlainan dapat saling berhubungan karena naluri, maka manusia harus mengembangkan kebiasaan mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam tiap kelompok tersebut kemudian menghasilkan bermacam-macam sistem pernikahan yang berbeda satu dengan yang lain. Keseluruhan kebiasaan yang dipunyai manusia tesebut di bidang ekonomi, kekeluargaan pendidikan, agama, politik, dan sebagainya harus dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses yang dinamakan sosialisasi (socialization).
Berger mengdefinisikan sosialisasi sebagai “a process by wich a child learns to be a participant member of society” proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berfatisipasi dalam masyarakat (Berger, 1978: 116). Definisi ini disajikannya dalam suatu pokok bahasan berjudul society in man, dari sini tergambar pandangannya bahwa melalui sosialisasi masyarakat dimasukkan ke dalam manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Beberapa Pemikiran Tokoh Sosiologi
1. Pemikiran Mead
Salah satu teori peran yang dikaitkan dengan sosialisasi ialah teori George Herbert Mead. Dalam teorinya yang diuraikan dalam buku Mind, Self, and Society (1972), Mead mernguraikan tahap pengembangan diri (self) manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead, pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap-tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized other.
Tahap yang pertama, play stage, yaitu tahapan dimana seorang anak kecil mulai belajar mengambil peran orang yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peran yang dijalankan oleh orang tuanya, atau peran orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi.
Tahap yang kedua, game stage, yaitu tahapan dimana seorang anak tidak hanya telah mengetahui perannya yang harus dijalankannya. Tetapi juga telah mengetahui peran yang harus di jalankan oleh orang lain dengan siapa dia berinteraksi.
Tahap yang ketiga, generalized other, yaitu tahapan dimana ia telah mampu beriteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peran orang lain dengan siapa ia berinteraksi.
Dari pandangan-pandangan Mead ini nampak jelas pendiriannya bahwa diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.
 2. Pemikiran Cooley
Pandangan lain yang juga menekankan pada peran interaksi dalam proses sosialisasi tertuang dalam buah pikiran Charles H. Cooley. Menurut Cooley, konsep diri (self-concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini oleh Cooley di beri nama looking-glass self.
B. Agen Sosialisasi
Agen sosialisasi (Agents of socialization), yaitu pihak yang melaksanakan sosialisasi. Fuller dan Jacobs (1973: 168-208) mengidentifikasikan empat agen sosialisasi utama yaitu : keluarga, kelompok bermain, media massa dan sistem pendidikan.
1)      Keluarga
Pada awal kehidupan manusia biasanya agen sosialisasi terdiri atas orang tua dan sodara kandung. Pada masyarakat yang mengenai sistem keluarga luas (extended family) agen sosialisasi bias berjumlah lebih banyak.
Gertrude Jaeger (1977) mengemukakan bahwa peran para agen sosialisasi pada tahap awal ini, terutama orang tua, sangat penting. Sang anak sangat tergantung pada orang tua dan apa yang terjadi antara orang tua dan anak pada tahap ini jarang diketahui oleh orang luar.
Arti penting agen sosialisasi pertama pun terletak pada pentingnya kemampuan yang diajarkan pada tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant others pada tahap ini, seorang bayi belajar berkomunikasi secara verbal dan non verbal.
2)      Teman Bermain
Setelah mulai dapat bepergian, seorang anak memperoleh agen sosialisasi lain: Teman bermain, baik yang terdiri atas kerabat maupun tetangga dan teman sekolah. Disini seorang anak mempelajari berbagai kemampuan baru. Kalau dalam keluarga interaksi yang dipelajarinya dirumah melibatkan hubungan yang tidak sederajat, maka dalam kelompok bermain seorang anak belajar berinteraksi dengan orang yang sederajat karena sebaya.
3)      Sekolah
Agen sosialisasi berikut tentunya dalam masyarakat yang telah mengenalnya adalah system pendidikan formal. Disini seseorang mempelajari hal baru  yang belum dipelajarinya dalam keluarga ataupun dalam kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkannya untuk penguasaan peran-peran baru dikemudian hari, dikala seseorang tidak tergantung lagi pada orang tuanya.
Menurut Robert Dreeben (1968), berpendapat bahwa yang dipelajari anak disekolah selain membaca, menulis dan berhitung adalah aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), spesifisitas (specificity). Pemikiran Dreeben ini dipengaruhi oleh dikotomi yang dikembangkan oleh Talcott Parsons, misalnya antara ascribtion dan achievement, particularism dan universalism, diffuseness dan specificity.
4)      Media massa
Light, Keller dan Calhoun (1989) mengemukakan bahwa media massa yang terdiri dari media cetak dan media elektronik merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sejumlah besar orang. Media massa diidentifikasikan sebagai suatu agen sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap prilaku. Peningkatan teknologi yang memungkitkan peningkatan kualitas pesan serta peningkatan frekuensi penerpaan masyarakat pun memberi peluang bagi media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting.
Pesan-pesan yang ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan khalayak ke arah prilaku prososial maupun antisosial. Penayangan film-film seri dan film kartun yang menonjolkan kekerasan dianggap sebagai satu faktor yang memicu prilaku agresif  pada anak-anak yang melihatnya. Iklan-iklan yang ditayangkan mempunyai potensi untuk memicu perubahan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat. Media massa pun sering digunakan untuk mengukur, membentuk ataupun mempengaruhi pendapat umum.
Kesadaran akan penting media massa bagi sosialisasi pun telah mendorong para pendidik unuk memanfaatkan media massa. Di banyak negara, televisi digunakan untuk menayangkan siaran-siaran pendidikan yang bertujuan mempengaruhi pengetahuan, keterampilan dan sikap khayalnya. Namun, pernyataan ini memberikan kita alasan untuk mengkaji dampak-dampak televisi bagi para penonton kita.
Fuller dan Jacobs (1073) mengemukakan bahwa dampak televisi sebagai agen sosialisasi belum diketahui dengan pasti. Urie Bronfenbrenner (1970), setelah mempelajari beberapa data penelitian terhadap dampak televisi terhadap perilaku anak, merasa yakin bahwa media massa ini memberikan sumbangan berarti bagi tumbuh dan dipertahankannya suatu tingkat kekerasan tinggi dalam masyarakat Amerika. Light, Keller dan Calhoun, di pihak lain mengemukakan bahwa menurut penelitian Robert Hodge dan David Tripp pada tahun 1966, televisi tidak memberika pesan tunggal yang sederhana, melainkan menyajikan berbagai pesan yang rancu dan saling bertentangan, dan bahwa pesan televisi membawa banyak dampak positif seperti merangsang interaksi, eksperimen dan pertumbuhan mental serta sosial anak (lihat Light, Keller dan Calhoun, 1989:127-129).
  1. Kesepadanan Pesan Agen Sosialisasi Berlainan
Sebagaimana yang telah kita lihat dari pemikiran Dreeben mengenai sosialisasi di sekolah, maka pesan-pesan yang disampaikan oleh agen sosialisasi yang berlainan tidak selamanya sepadan satu dengan yang lain.
Jika pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi dalam masyarakat sepadan dan tidak saling bertentangan melainkam mendukukng, maka poses sosilaisasi diharapkan dapat berjalan relatif lancar. Namun, dalam masyarakat yang di dalamnya terdapat agen sosilisasi dengan pesan yang bertentangan dijumpai kecenderungan bahwa warga masyarakat yang menjalani proses sosialisasi sering mengalami konflik pribadi karena diombang-ambingkan oleh agen sosialisasi yang berlainan. Seorang anak sering harus memilih antara menaati orang tua atau mengikuti teman, dan pilihan apa pin yang diambilnya akan mempertentangkannya dengan salah satu agen sosialisasi. Konflik pribadi pun akan terjadi manakala seseorang disosialisasikan karena mempelajari peran baru, dan aturan dalam proses sosialisasi ini bertentangan dengan sosialisasi yang pernah di alaminya dalam masa lampau.
Masalah tersebut dikenal sebagai perbedaan hasil belajar karena danya perbedaan pola sosialisasi masyarakat yang berlainan. Dan hal ini dikaji secara mendalam oleh Urie Bronefrenbenner (1970). Dalam tulisannya mengenai dunia anak-anak di Amerika Serikat dan Uni Soviet Bronefrenbenner, berdalih bahwa pola sosilaisasi anak di Amerika Serikat lebih cenderung menghasilkan anak dengan prilaku antisosial dari pada pola sosialisasi anak di Uni Soviet.
D.   Sosialisasi Primer dan Sosialisasi Pendidikan
            Sosialisasi merupakan proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam kaitan inilah para ahli berbicara mengenai bentuk-bentuk proses sosialisasi seperti sosialisasi setelah masa kanak-kanak (socialization after childhood), pendidikan sepanjang hidup (lifelong education), pendidikan berkesinambungan (continuing education).
            Light et al. (1989:130) mengemukakan, bahwa setelah sosialisasi dini yang disebut sosialisasi primer (primary socialization), kita menjumpai sosialisasi sekunder (secondary socialization).
            Berger dan Luckmann (1967) mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder mereka definisikan sebagai proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru daru dunia objektif masyarakatnya (Berger dan Luckmann, 1967: 130).
            Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang sering sering dijumpai dalam masyarakat ialah apa yang dinamakan proses resoliasisasi (resocialization) yang didahului dengan proses desosialisasi (desocialization). Dalam proses desosialisasi seseorang mengalami “pencabutan” diri yang dimilikinya, sedangkan dalam proses resosialisasi seseorang diberi suatu diri yang baru. Proses desosialisasi dan resosialisasi sering dikaitkan dengan proses yang berlangsung dengan apa yang oleh Goffman dinamakan institusi total (total instituition):
  Suatu tempat tingga dan bekerja yang di dalamnya sejumlah individu dalam situasi sama, terputus dari masyarakat yang lebih luas untuk jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkungkungdan diatur secara formal (Goffman, 1961:xiii).
Sosialisasi antisipatoris (anticipatory socialization) merupakan suatu bentuk sosialisasi sekunder yang mempersiapkan seseorang untuk peran yang baru. Seperti dalam kasus kenaikan pangkat di kalanngan personel militer, mereka mempersiapkan diri untuk peranannya yang baru meskipun kenaikan pangkatnya belum berlangsung. Mereka mulai membatasi hubungan dengan rekannya sesama bintara dan mulai menjalin kontak dengan para perwira.
E.   Pola Sosialisasi
         Menurut Jaeger (1977), dengan mengutip karya Bronfenbenner dan Kohn, ada dua pola sosialisasi, sosialisasi represif (repressive socialization) dan sosialisasi partisipatoris (participatory socialization).
         Sosialisasi represif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan.  Menurut Jaeger, sosialisasi represif pun memiliki ciri lain, seperti penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan; penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua; penekanan tehadap komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah; penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua; dan peran keluarga sebagai significant other.
         Sedangkan sosialisasi partisipatoris merupakan pola yang didalamnya anak diberi imbalan manakala berprilaku baik; hukuman dan imbalan bersifat simbolik; anak diberi kebebasan; penekanan diletakkan pada interaksi; komunikasi bersifat lisan; anak menjadi pusat sosialisasi; keperluan anak dianggap penting; dan keluarga menjadi generalized other.
     F.  Kasus-Kasus Pendidikan

1. Kasus Sosialisai Sekolah

IPDN: KESALAHAN MEMAKNAI HAKIKAT PENDIDIKAN

Kasus perpeloncoan yang berakibat kematian kembali mencoreng dunia pendidikan kita. Kini, Cliff Muntu, mahasiswa (praja) Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), menjadi korban. Mahasiswa asal Manado ini tewas setelah dianiaya para seniornya. Peristiwa tersebut membuat kita terkejut, karena ini bukan untuk pertama kalinya terjadi. Konon, sejak 1993, tidak kurang sepuluh mahasiswa di sana tewas karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh para seniornya. Sebenarnya, masyarakat berharap bahwa peristiwa di STPDN yang menewaskan Wahyu Hidayat tahun 2003 menjadi momentum untuk mengakhiri segala bentuk perpeloncoan yang dilakukan para siswa di lembaga pendidikan di Tanah Air.

Menurut Wapres M Jusuf Kalla mengatakan bahwa kekerasan bukan hanya terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) saja, namun kekerasan juga ada di berbagai kampus di Indonesia.

“Jadi kekerasan bukan hanya ‘milik’ IPDN saja, tapi budaya kekerasan memang ada di situ (IPDN),” kata Wapres M Jusuf Kalla di hadapan para mahasiswa yang ikut Pengkaderan mahasiswa angkatan II Partai Golkar di Cibubur Jakarta, Senin malam, seperti dilansir Republika online edisi 10 April 2007.

Artinya, apa yang terjadi di IPDN bak gunung es di permukaan lautan. Ungkapan Wapres Yusuf Kalla dan peristiwa di IPDN tersebut seakan menyadarkan kita betapa budaya kekerasan masih banyak melanda dunia pendidikan kita. Jika asumsi ini benar, maka tindakan pemecatan para senior yang menganiaya Cliff Muntu, pemberian sanksi pada dosen dan pejabat IPDN, bahkan penutupan lembaga itu hampir tidak bermakna sama sekali. Menurut hemat penulis, diperlukan reorientasi menyeluruh terhadap terhadap paradigma pembelajaran di dunia pendidikan kita.

Jika mau jujur, meski kurikulum pendidikan kita terus di up date, namun pelaksanaan di sekolah-sekolah nyaris tak ada perubahan. Model-model pembelajaran yang merangsang keaktifan peserta didik dalam proses belajar mengajar telah lama dikumandangkan, semisal CBSA, Kurikulum Berbassis Kompetensi hingga KTSP, namun aplikasi di lapangan tak jua beranjak berubah. Ibarat, biarlah anjing menggonggong kafilah terus berlalu. Para pengajar masih berperan sebagai sentral dalam proses pembelajaran di kelas-kelas. Mereka merasa wajib mentransfer segala ilmu sesuai keputusan dari ‘atas’ kepada peserta didik. Jika target ‘transfer ilmu’ tersebut telah tercapai, maka tuntaslah kewajibannya. Tak peduli apakah peserta didik menguasai ilmu tersebut atau tidak.

Struktur dan mekanisme praktik pendidikan yang demikian melahirkan proses pendidikan lebih sebagai “proses pengajaran oleh guru” (teacher teaching) dibandingkan yang seharusnya sebagai “proses pembelajaran oleh murid” (student learning). Guru harus melaksanakan tugas dengan metode yang telah ditentukan sebagaimana “petunjuk dari atas”, terlepas guru suka atau tidak terhadap perilaku tersebut, cocok atau tidaknya metode tersebut dengan materi yang harus disampaikan di depan peserta didik. Guru harus menggunakan metode tersebut karena suatu “perintah” atasan. Oleh karena itu, muncullah robot- robot yang mengajar di kelas (robotic teacher).

Praktek pendidikan demikian akan memunculkan iklim sekolah yang cenderung bersifat otoriter. lklim yang tidak demokratis ini menyebabkan efek destruktif pada “keingintahuan, kepercayaan diri, kreatifitas, kebebasan berfikir, dan self-respect” di kalangan peserta didik. Pendidikan bukan bertujuan untuk mengembangkan segala potensi peserta didik agar berkembang secar optimal, namun mecetak robot-robot seperti dikehendaki ‘penguasa’. Oleh karena itu, restrukturisasi dan deregulasi pendidikan merupakan sebuah keharusan untuk segera dilaksanakan agar pendidikan bisa berperan secara maksimal.

2. Kasus Sosialisai Keluarga

REMAJA: KENAKALAN REMAJA SEBAGAI PERILAKU MENYIMPANG
Masalah sosial yang dikategorikan dalam perilaku menyimpang diantaranya adalah kenakalan remaja. Untuk mengetahui tentang latar belakang kenakalan remaja dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual, individu sebagai  satuan pengamatan sekaligus sumber masalah. Untuk  pendekatan sistem, individu sebagai satuan pengamatan sedangkan sistem sebagai sumber masalah. Berdasarkan  penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa ternyata ada hubungan negative antara kenakalan remaja dengan keberfungsian keluarga. Artinya semakin meningkatnya keberfungsian sosial  sebuah keluarga dalam melaksanakan tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya maka akan semakin rendah tingkat kenakalan anak-anaknya atau kualitas kenakalannya semakin rendah. Di samping itu penggunaan waktu luang yang tidak terarah merupakan sebab yang sangat dominan bagi remaja untuk melakukan perilaku menyimpang.
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang.  Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma social yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui  jalur tersebut berarti telah menyimpang.
Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988,26), mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Masalah sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Kenakalan Remaja” bisa melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual melalui pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi, perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di kalangan anak dan remaja (Kauffman, 1989:6) mengemukakan bahwa perilaku menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya. Ketidak berhasilan belajar sosial atau “kesalahan” dalam berinteraksi dari transaksi sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam beberapa hal.
Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang diserap. Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota mempunyai sifat yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut mempunyai karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen, 1986 : 400), mengatakan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar, overcrowding, derajat kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil. Penelitian inipun dilakukan di daerah pinggiran kota yaitu di Pondok Pinang Jakarta Selatan tampak ciri-ciri seperti disebutkan Eitzen diatas. Sutherland dalam (Eitzen,1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk menjadi kriminal melalui interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung devian, maka seseorang akan mempunyai kemungkinan besar untuk belajar tentang teknik dan nilai-nilai devian yang pada gilirannya akan memungkinkan untuk menumbuhkan  tindakan kriminal.
Pada tingkat kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan, mencuri,minum-minuman keras, juga cukup banyak dilakukan oleh responden. Bahkan pada kenakalan khususpun banyak dilakukan oleh responden seperti hubungan seks di luar nikah, menyalahgunakan narkotika, kasus pembunuhan, pemerkosaan, serta menggugurkan kandungan walaupun kecil persentasenya. Terdapat cukup banyak dari mereka yangkumpul kebo. Keadaan yang demikian cukup memprihatinkan. Kalau hal ini tidak segera ditanggulangi akan membahayakan baik bagi pelaku, keluarga, maupun masyarakat. Karena dapat menimbulkan masalah sosial di kemudian hari yang semakin kompleks.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Setelah membaca dan menganalisis makalah yang penulis buat, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1. Sosialisasi adalah proses individu dalam mempelajari keperluan-keperluan sosial dan kultural di sekitarnya yang mengarah ke dunia sosial.
2. Proses social adalah proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif.
3. Media yang dapat menjadi ajang sosialisasi adalah keluarga, sekolah, teman bermain media massa dan lingkungan kerja.
            Dalam teori Mead manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized other.
Menurut Cooley, konsep diri seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini lah oleh Cooley diberi nama looking glass self, yang menurutnya terbentuk melalui tiga tahap.
Jaeger membedakan dua pola sosialisasi. Menurutnya sosialisasi reprensif menekakan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Sosialisasi partisipatoris, di pihak lain merupakan pola yang di dalamnya anak diberi imbalan manakala ia berprilaku baik.
B. Saran
Sedangkan saran yang penulis berikan adalah sebagai berikut :
1.      Perlu dan pentingnya pembinaan dan bimbingan keluarga terhadap anaknya dalam menghadapi interaksi social dengan dunia luar.
2.      Perlunya filterisasi social dalam hal proses sosialisasi, agar menjadi manusia yang bertanggung jawab dan efektif.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar